Sunday, June 20, 2010

Kami Sayang Ayah

Setelah 2 bulan menjalani Internship Program di Banda Aceh, aku langsung disuruh pulang ke Kota Fajar. Kata Mamak kami harus ke Medan buat nemenin Ayah berobat. Yang pergi cuma Ayah, Mamak, Aku dan si Adek. Selama ini Ayah memang sakit dan bolak balik ke dokter. Dokter Ayah yang di Tapaktuan nyaranin Ayah buat konsul ke dokter yang di Medan.

Dalam bayangan aku penyakit Ayah itu cuma asam urat dan bisa disembuhkan dengan hanya mengonsumsi obat. Aku tidak terlalu khawatir. Tidak sebelum aku melihat kondisi Ayah yang tidak sanggup berjalan dengan sempurna, tidak bisa terlalu capek dan kalau kecapaian Ayah akan terengah, dan Ayah sama sekali tidak selera makan. Tidak seperti biasanya. Disitu aku sudah curiga kalau Ayahku tidak lagi mengidap penyakit yang biasa. Sesampainya di Medan, dokter mengatakan kalau di ginjal Ayah ada batunya. Ayah diharuskan untuk scanning di RS Materna. Hasil scanning tersebut akan diperlihatkan ke dokter, dan dokter akan memutuskan apa tindak lanjut yang akan dijalani Ayah.

Malam itu aku ikut masuk ke dalam ruangan praktek dokter untuk mendengar secara langsung apa yang dikatakan dokter. Setelah melihat hasil scan dengan seksama dr. Warly (dokter yang memeriksa Ayah) menghela nafas dan sesaat terdiam.

"Ginjal bapak sudah tidak bagus. Batu di ginjal bapak ukurannya sudah besar. Dan itu ada di kedua ginjal bapak. Kita akan menyelamatkan ginjal yang paling bagus dulu, yaitu sebelah kanan. Dalam hal ini mau tidak mau bapak harus dioperasi."

Ya Rabb.. Kepalaku seperti dihantam batu yang besar

"Nanti saya sendiri dan tim saya yang akan menangani. Bapak bisa langsung mendaftarkan ke rumah sakit Martha Friska, bla, bla, bla..."

Dokter masih terus berbicara. Fikiranku tidak fokus, melayang di ruang yang dingin itu. Aku bisa melihat ketakutan dan kekhawatiran yang tergambar jelas diwajah Ayah dan Mamak. Kata 'operasi' sebelumnya belum pernah terdengar di keluarga kami. Aku tidak pernah membayangkan apa yang akan terjadi. Padahal beberapa hari sebelumnya Ayah sudah bilang, "nanti kalo Ayah harus operasi dan di opname, kakwik dan Adek pulang aja duluan". What?? Waktu itu sama sekali aku tidak berfikir sejauh itu, aku masih menyangka kalau penyakit Ayah itu tidak harus dioperasi.

Malam itu kami langsung menuju RS Martha Friska untuk mengecek. Sesampainya disana aku langsung ke resepsionis sama Mamak. Kamar penuh dan hanya tersisa kamar kelas 3 yang penghuninya 3-8 pasien tidak ber-AC hanya disediakan kipas angin. Kami memutuskan untuk kembali esok harinya. Waktu keluar dari rumah sakit, aku melihat Ayah duduk di luar dengan wajah yang pucat. Seharian itu belum ada makanan yang lolos ke perutnya. Kepedihan menohok dadaku. Ayak kelihatan lemah sekali. Aku tidak sanggup melihatnya. Ayah tidak biasa begini. Ayah tidak pernah benar2 sakit, tidak pernah benar2 lemah, tidak pernah berjalan harus memegang seseorang (aku terus berusaha untuk menjadi pegangan kalau Ayah berjalan walaupun Ayah sering menolak). Tidak kali ini.

Keesokan harinya kami kembali ke RS Martha Friska. Belum juga ada kamar kelas 1 yang kosong (dari Askes ayah mendapat jatah kamar 1). Dengan segala pertimbangan kami akhirnya mengambil kamar kelas 3 yang Alhamdulillah hanya berisi 3 orang pasien, dengan perjanjian setelah ada kamar kelas 1 yang kosong maka Ayah akan dipindahkan.

Allah maha penyayang. Kamar Ayah tidak separah kamar2 kelas 3 lainnya. Kamar itu lumayan luas untuk keluarga pasian. Sebelumnya Ayah sudah meminta Mamak untuk menyuruh orang rumah untuk ke Medan (Kak Woe, Si kembar, dan Arul). Aku menganggap Ayah terlalu berlebihan sampai menyuruh mereka ke Medan, hingga Mamak ngomong ke aku "Sudahlah nak, ini kali pertama Ayah masuk rumah sakit, operasi pula. Ayah butuh semangat dari orang2 yang disayang".

Ayahku masih sering menerima telpon dari orang2 kantornya dan membicarakan masalah kantor. Ayah berbicara seolah Ayah sedang tidak sakit. Ayah juga menyempatkan bertanya tentang tugas akhirku dan Ayah juga bertanya kenapa aku kelihatan sedih (waktu itu aku lagi berantem sama si adek. Childish!). Ah Ayah, kau masih mengkhawatirkan orang disaat kau justru butuh perhatian.

Hari itu hari Jumat, 21 Mei 2010.
Kami sudah menginap 2 di rumah sakit. Ayah kepanasan dikamar itu. Kipas angin tidak mempan untuk Ayah. Kak Woe dan adik2ku sudah tiba di Medan. Aku dan Kak Woe bergantian mengelap badan Ayah dengan handuk basah dan menaburinya dengan bedak. Kami berusaha menciptakan suasana yang ceria disekeliling Ayah dengan bercanda. Masalah kamar, kami sudah berkali2 ke resepsionis dan mereka juga belum ada kamar kelas 1 yang kosong. Suatu sore, Ayah sedang terlelap, kami (Aku, Kak Woe dan Mamak) duduk disekitar ranjang Ayah, seorang suster masuk.

"Ibu, sudah taukan bapak sore ini harus dioperasi?"

Dengan gampangnya suster itu mengatakan itu, sedangkan kami langsung kaget. Belum siap mendengarnya.

"Jadi bapak harus mulai puasa dan menjalani beberapa proses sebelum operasi."

Air muka langsung berubah dimuka kami bertiga. Dari yang tadinya ceria menjadi takut dan was-was. Tapi kami seperti sepakat tidak membicarakannya. Masing-masing hanya menyimpan untuk sendiri. Aku dan Mamak kembali ke resepsionis dengan harapan ada kamar kelas 1 yang kosong. Puji Allah dengan segala kasih sayangnya. Ada kamar kelas 1 yang kosong dilantai 5. Ayah operasi jam 8 malam, sore itu juga kami memindahkan semua barang ke kamar baru Ayah.

Sore itu adik2ku datang ke rumah sakit (mereka menginap dipenginapan salah satu kerabat Mamak). Ayah sudah menjalani puasa, membersihkan perut dll. Aku berusaha melihat semua yang harus dijalani Ayah (dalam hal ini Mamak dan Kak Woe sering tidak sanggup untuk melihat). Aku membantu memakaikan baju operasi ke Ayah. Aku juga melihat jarum infus di suntikkan oleh suster. Menjelang Ayah dibawa ke ruang operasi aku hendak mengajak Kak Woe untuk mengantar Ayah, tapi urung setelah kulihat Kak Woe menangis sambil menelpon pacarnya. Aku trenyuh. Aku tau ini berat untuk kami. Ternyata kami tidak bisa mendampingi Ayah sampai ke ruang operasi, karna Ayah harus dibawa melalui lift yang berbeda, lift khusus pasien yang sudah disterilkan.

Sebelum Ayah masuk ke lift. Aku sempat melihat Ayah. Ayah terduduk pasrah di kursi roda. Pandangan Ayah kosong ke arah kami. Seumur hidup baru sekali aku melihat Ayah begitu. Sesuatu menghantam dadaku. Menyakitkan! Aku tidak sanggup melihat Ayah sakit.

Ayah sedang dioperasi. Kami menunggunya di depan ruang operasi yang sekaligus berada di depan ruang ICU bersama beberapa keluarga. Ayah kekurangan darah. Mamak bersama Lencut (abang sepupuku) pergi mencari darah ke RS Malayahati. Jadi tinggal aku dan Kak Woe menunggu Ayah (Adik2ku telah kembali ke penginapan). Doa terus mengalir, air mata tidak sanggup kutahan, jadi kubiarkan saja jatuh. Begitu juga dengan Kak Woe. Berkelebat segala gambar tentang Ayah. Teringat begitu banyak kesalahan yang kuperbuat, tapi Ayah justru membalasnya dengan memberikan kasih sayang. Ayah tidak pernah mengajarkan anak-anaknya untuk membenci orang lain, sekalipun orang itu membenci kami. Ayah selalu berusaha membantu orang lain yang kesusahan walaupun beliau sendiri dalam kesusahan. Ayah tidak pernah menjanjikan kemewahan kepada kami tapi selalu memberi kabahagiaan yang jauh lebih berharga dari pada uang. Ayah yang humoris. Ayah yang selalu ada waktu untuk mengajak anak2nya berbicara. Kadang aku tidak memperdulikan Ayah kalau aku sedang ngambek, tapi Ayah dengan sabar pasti akan mengajakku berbicara (aku sangat merasa bersalah mengingat hal itu). Ayah selalu berusaha menyatukan kami bertujuh. Ayah yang sayang anak yatim dan memeliharanya dirumah. Ayah yang tidak henti-hentinya mengajarkan kami moral dan akhlak dan bagaimana mencintai sang Pencipata. Oh Ayah.. Permata terbaik yang pernah kumiliki..

Aku menunggu di depan ruang operasi, sedangkan Kak Woe menunggu di depan Laboratorium. Jadi ketika 4 jam kemudian Ayah selesai operasi dokter memanggil keluarga Ayah (Mamak belum kembali dari RS Malahayati). Dengan mata sembap aku masuk ke ruang operasi. Dr. Warly memperlihatkan batu yang bersarang di ginjal Ayah yang bentuknya menyerupai jahe. Seketika tumbuh rasa benciku pada batu itu.

"Ini batunya sudah sangat besar, dan diperkirakan sudah 10 tahun bersarang di ginjal bapak. Mungkin lain ceritanya kalau 5 tahun lalu bapak bertemu saya atau dr. Wildan (partner dr. Warly). Seperti yang sudah saya katakan, ginjal bapak sudah sangat parah. Kalau tidak hati2, kemungkinan cuci darah"

Aku terpaku mendengar itu. Dibalik tubuh Ayah yang 'kelihatan' sehat, ternyata ada penyakit yang terus mengerogotinya. Aku memberitahu keadaan Ayah kepada Kak Woe dan Mamak persis seperti yang dikatakan dr. Warly. Mamak terlihat pucat. Aku menyesal tidak menyusun kata-kataku sehingga tidak terdengar terlalu mengerikan.

Beberapa jam kemudian Ayah keluar dari ruang operasi dan dimasukkan ke ruang ICU. Ayah belum sadarkan diri, tetapi beliau sudah bisa menggerak2an kakinya. Ayah dimasukkan ke ruang isolasi ICU, agak terpisah dari pasien yang lain. Alasan ayah dimasukkan disitu karena Alhamdulillah Ayah tidak mengalami pendarahan setelah operasi. Ayah terbaring lemah. Kami hanya bisa melihatnya sesekali ketika pintu terbuka karna pasien tidak boleh masuk sembarangan kecuali jam bertamu yang hanya 2 jam (siang dan sore).

Alhamdulillah Ayah hanya 2 hari di ruang ICU. Ayah tidak betah diruangan itu. Ayah merindukan istri dan anak-anaknya. Ayah juga sempat beralasan minta dibelikan roti sama Mamak agar Mamak bisa masuk ke Ruang ICU. Ayah berkali2 melambaikan tangan menyuruh adikku masuk. Ayah kesepian diruangan itu. Syukur Ayah tidak harus berlama-lama diruangan itu. Aku was was kami kembali tidak mendapati kamar kelas 1. Pasca operasi aku ingin Ayah dirawat diruang yang nyaman. Lagi2 Allah menunjukkan kasih sayangnya yang begitu besar kepada kami. Kami mendapati kamar kelas 2 yang lebih luas dari kamar lainnya dan hanya dihuni 2 pasien. Ayah cuma 1 malam dikamar itu. Selanjutnya Ayah kembali dipindahkan dikamar 1.

Keadaan Ayah tidak bisa dibilang membaik tapi tidak juga memburuk. Ayah tidak selera makan. Karena setelah itu Ayah akan memuntahkan kembali makanan itu keluar. Aku sudah kembali ke Jakarta, Kak Woe dan adik2 sudah kembali ke rumah ketika Mamak SMS Kak Woe kalau Ayah harus menjalani Hemodialisa (Cuci Darah) dan menyuruh Kak Woe kembali ke Medan. Luka Ayah masih mengeluarkan banyak air. Ya Allah, beri kami kekuatan. Aku tidak bisa berhenti menangis. Aku tidak tega melihat Ayah harus menjalani semua cobaan berat ini. Kalau Allah menghendaki, aku ingin menanggung rasa sakit yang Ayah rasakan.

Dulu aku ingat waktu aku mengeluh karna sakit, trus Ayah bilang, "sakit kamu separah apa sih? masih bisa jalan kan?" Secara tidak langsung Ayah mengajarkan kepadaku untuk tidak terbiasa mengeluh, karna itu kadang2 akan memberi beban kepada orang lain. Dan Ayah begitu. Tidak pernah mengeluh atas apa yang dideritanya. Ayah masih terus ke kantor walaupun dalam keadaan sakit. Ayah akan berusaha nyetir sendiri untuk mengantar Mamak berobat, walaupun hanya memakai satu tangan karna tangan yang lainnya sedang sakit. Ayah berusaha mengeluarkan suara yang kedengarannya tidak apa2 ditelpon, padahal Ayah belum cukup pulih pasca operasi. Ayah berusaha tidak memperlihatkan ketidakberdayaannya. Ayah akan merasa malu apabila harus menyusahkan orang lain bahkan anak istrinya sendiri.

Berhenti bersikap seperti itu Ayah!
Kami Sayang Ayah, dan betapa senangnya kami bisa membantu Ayah.

Sekarang Ayah masih dirawat dirumah sakit. Sebait doa akan terus mengalir. Tidak ada yang lebih kami harapkan selain kesembuhan Ayah.

Ya Allah yang maha pengasih, limpahkanlah kasihMu di antara kami. Sembuhkanlah Ayah, agar kami bisa berkumpul kembali dalam rengkuhanMu dan bersama-sama belajar menggapai cintaMu..

4 comments:

Jihanbanaeem said...

ihhh kakak,ceritany sedih bged .
skrg ayah kakak masi drawat dMedan kah ? Cepat sembuh ya buat ayah kk.
Semoga Allah terus memberikan kekuatan utk beliau supaya tetap bertahan ,hhew, jihan nangis lo kak bacanya :(

Dwi Zubir said...

iya ji. Ayah kka masih di Medan.

Aminn.. Makasih ya syg doanya. Sampe sekarang kalo ingat2 Ayah, kka masih sering nangis.

eMjealmedine said...

dwii,, jd sedihh,,

smoga cepat sembuh ya ayahnya dwi,,

Ya Allah Yang Maha Penyembuh, sembuh kanlah ayah teman baik kami,,

Amiiin

Dwi Zubir said...

Amin. Amin ya Rabb..
Makasih ta doanya..